News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Mengarusutamakan Keamanan Manusia Dalam Arus Global

Mengarusutamakan Keamanan Manusia Dalam Arus Global

Oleh:Jacob Ereste 

Mediapertiwi,id-Materi yang tersajikan ini merupakan saripati dari Pidato Penganugrahan Gelar Doktor Honoris Causa Drs. KH. Habib Chirzin dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.  Habib Chirzin juga penerima The Aga Khan Award for Architecture, Pakistan, 1980 serta The Ambasador of Peace, Interreligious and Internasional Federation for the World Peace, Seoul, Korea, 2002)

Wacana Baru Perdamaian dan Perlunya Mengarusutamakan Keamanan Manusia Dalam Perspektif Maqashid Al Syari’ah menjadi isi pidato Muhammad Habib Chirzin saat menerima penganugrahan gelar Doktor Honoris Causa di hadapan Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada Rabu 21 September 2022. Kini pidato ilmiah itu dapat diikuti melalui buku yang telah diterbitkan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Paparan ini merupakan refleksi perjalanan dan keterlibatannya dalam dialog pengembangan keamanan manusia, indeks kebahagiaan, dan etika global. Menurut Habib Chirzin, upaya serupa telah dilakukan bersama Universitas Chulalongkorn, Bangkok dengan sejumlah tokoh seperti Dr. Surichai Wungaco, Director Chulalongkorn Universitas Peace and Conflict Studies Center, Dr Vitit Muntabhorn, pakar HAM Internasional dan Guru Besar Fakultas Ekonomi, pendiri CMP (Center for Muslim World Policy Studies) Universitas Chulalongkorn, kemudian dilanjutkan oleh Dr. Sawvannee Jitmoud; Dr. Surin Pitsuwan yang berbasis di Universitas Thammasat, Bangkok, hingga kemudian menjadi Anggota Komisi PBB untuk Keamanan Manusia (The United Nation Commission on Human Security) yang diketuai oleh Dr. Sadako Ogata, mantan Dir Gen UNHCR (The United Nation High Commission on Refugees) dan Dr. Amartya Sen, ekonom dari Universitas Havard, penerima hadiah Nobel di bibang Ekonomi, Pusat Studi Dunia Ketiga (Third World Studies Center) The Universitas of The Philippines, kampus Deliman yang didirikan oleh Dr. Randolf David bersama Dr. Edmundo Garcia yang aktif di IPRA (International Peace Research Association) dengan kawan-kawan seperti Dr, Maria Ela I, Atienza yang aktif dalam  Pengarusutamaan Keamanan Manusia.

Pada tahun 2007 telah dilaksanakan konferensi “Mainstreaming Human Security Asian Contribution” di Universitas Chulalongkorn yang mengekplorasi kerangka kerja Keamanan Manusia yang langsung mendapat penerimaan di Kawasan Asia. Hasil konferensi tersebut disebarluaskan oleh Chula Global Network Chulalongkorn Universitas sebagai Upaya bersama menyebarluaskan pemikiran dan mengarusutamaan keamanan manusia oleh Lembaga perguruan tinggi.

Pemahaman Masyarakat pada masa lalu tentang perdamaian sebagai antitesa dari perang. Setelah pertengahan tahun 1990, banyak pakar penelitian dan studi perdamaian tidak pusa dengan pola berpikir konvensional tersebut. Sebab lawan dari perdamaian bukan hanya perang, tetapi ketidakdamaian (peacelessness) dalam pengertian yang luas, yakni kondisi kehidupan masyarakat yang menghalangi proses aktualisasi diri, realisasi diri dan pembebasan diri insani secara penuh, berupa kemiskinan, ketidakadilan sosial, perusakan lingkungan hidup, kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan, pelanggaran hak asasi, Tindakan kekerasan kultural, struktur dan teknis maupun tidak berfungsinya Lembaga-lembaga  sosial politik secara semestinya.

Menurut Habib Chirzin, kondisi seperti itu sering disebut fenomena kekerasan institusional  dan kultural. Sehingga dengan perubahan wawasan tersebut, kegiatan studi, penelitian maupun program aksi perdamaian memeroleh perspektif yang lebih luas, dalam dan kaya. Relevan dengan pertikaian antara Israel dengan Palestina, kepedulian Lembaga-lembaga  studi perdamaian  berkisar pada masalah pembatasan dan perlucutan senjata, penyelesaian konflik, pendidikan perdamaian, budaya kekerasan, kelangsungan hidup manusia, keadilan sosial dan lingkungan hidup, serta tatanan dunia baru yang lebih adil dan Bahagia. Dan perang merupakan satu bentuk ekstrem dari keridakdamaian, dan kekerasan institusional adalah perang.

Dari sudut pandang kependudukan dan lingkungan hidup, dampak dari perang antara lain berubahnya pola pemukiman penduduk, berakibat lanjut pada praktik pertanian dan tata guna tanah, sehingga terjadi pembebanan berlebihan terhadap lahan dan lingkungan hidup dan gangguan keseimbangan ekologi. Kecuali itu, perlombaan senjata menjadi beban ekonomi bagi Pembangunan. Dan dalam kajian perdamaian, pemikiran tentang keamanan seringan dikaitkan dengan negara-negara bangsa yang mepertahankan perbatasan wilayah mereka guna melindungi warganya dari ancaman negara asing. Persis seperti yang sedang terjadi di Palestina sekarang.

Keamanan dan perdamaian, ternyata bukan hanya tidak ada perang, tetapi juga adanya pengendalian penyakit yang dapat dicegah, seperti fenomena Covid-19 yang menyisakan banyak pertanyaan dan misteri tidak terungkap sampai hari ini. 

Begitu juga dengan krisis keuangan, buta huruf dan fakir miskin yang telah menjadi tujuan utama kemerdekaan bangsa Indonesia seperti termaktub dalam UUD 1945 untuk diwujud-nyatakan dalam hasil yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengatasi fakir miskin – tidak semakin terjadi kesenjangan – seperti yang dialamai oleh segenap warga bangsa Indonesia sampai hari ini.

Dokumen tentang Persaudaraan Manusia Untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama, terangkum dalam dokumen yang ditanda tangani di Abu Dhabi dalam perspektif agama dan kepercayaan masing-masing dengan segala kekayaannya. Dalam versi Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), nilai-nilai persaudaraan manusia untuk perdamaian dan hidup bersama merupakan hal yang terkandung dalam ajaran semua agama dan kepercayaan. Nilai-nilai ini wajib diimplementasikan dalam kehidupan (Baca: Ziarah Spiritual dan Temu Persaudaraan Antar Umat Beragama Sedunia Yang Digagas GMRI Selaras Dengan Dokumen Abu Dhabi, Cakrabuana, October 7, 2023). Dokumen Abu Dhabi ini cukup penting untuk diketahui, karena bukan saja isinya, tetapi juga ditanda tangani bersama oleh Paus Fransiscus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb, di Madjid Founders Memorial Abu Dhabi pada Februari 2019. Dari dokumen itu sangat diharap dapat menjadi awal dari gerakan kreatif yang dapat dirancang dan dilaksanakan bersama oleh komunitas lintas iman seperti yang sedang dipersiapkan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang ingin melaksanakan pertemuan akbar persaudaraan lintas agama di Indonesia dalam waktu dekat. Demikian ungkap Sri Eko Sriyanto Galgendu yang gigih membangun komunikasi dengan berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun jaringan yang ada di manca negara.

“The Document on Human Fraternity for World Peace in Living Together” ini dilandasi oleh alasan sebagai dokumen yang terbilang revolusioner dengan kelugasan bahasa yang mendobrak pemikiran seputar relasi lintas agama dengan berbagai tantangannya. Kecuali itu, dokumen ini ditandatangani oleh Paus Fransiscus, petinggi agama Katolik sedunia dan Dr. Ahmed Al-Tayyeb, Imam Besar Al-Azhar. Tentu saja sejarah yang meliputi situasi dan kondisi yang terjadi dan menjadi latar belakang lahirnya dokumen kesepakatan bersama ini sangat menarik dan perlu dipahami sebelumnya. Untuk memahami kesepakatan yang luar biasa dari Dokumen Abu Dhabi ini diharap dunia dapat semakin terasa harmoni dan damai.

Meskipun dalam dokumen lain dapat juga diketahui bahwa relasi dan kerjasama antara Vatikan dan Al-Azhar sudah ada sejak tahun 1998, seperti yang disepakati dengan menanda tangani bentuk Kerja sama Antaragama Monoteistik yang permanen pada 28 Mei 1998 di Vatikan. Dalam wejangannya, Paus Yohanes Paulus II, pada 29 Mei 1998 di Istana Kepausan Vatikan, menyatakan dukungan Gereja Katolik se dunia terhadap inisiatif kerja sama ini. Bahkan juga menekankan pentingnya kerja sama antar umat beragama untuk menumbuh kembangkan relasi persahabatan — persaudaraan — antara umat Katolik dan umat Islam yang sudah menjadi kesepakatan bersama.

Dasar-dasar kerohanian inilah yang harus senantiasa ditonjolkan untuk menjalin relasi yang lebih rukun dan damai di dunia. Untuk itu, pertemuan rutin dua tahunan akan terus dilakukan sebagai bagian dari kesepakatan yang perlu dijaga bersama akan terus dilakukan. Krisis relasi seperti diungkap oleh Markus Solo Kewuta SVD (hal 11), mengungkap situasi memanas bahkan berdarah di berbagai tempat di dunia, bermula pada 12 September 2006, setahun setelah pengangkatan Paus Benediktus XVI, ketika memberi kuliah umum di Regensburg, Jerman. Ia mengutip sebuh buku yang menyinggung perasaan umat Islam. Akibatnya, 138 Alim Ulama Islam sejagat menulis surat berjudul “A Common Word” kepada Paus Benediktus XVI. Hingga kemudian melahirkan Forum Katolik-Muslim (Katolik-Muslim Forum atau KMF) yang bertemu pertama kali pada 4-6 November 2008 di Vatikan. 

Forum ini bertugas membahas surat terbuka Alim Ulama Islam sejagat, hingga berhasil memulihkan relasi yang baik dan harmoni. Yang pertama melalui Forum Katolik-Muslim di Vatikan dan kedua dalam Forum yang dilaksanakan di tepi Sungai Yordan, Yordania pada Oktober 2011.

Langkah-langkah Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI telah membuka peluang bagi Paus Paulus II untuk memulai dialog lintas agama yang lebih dinamis dan dengan daya jangkau yang lebih luas. Era keterbukaan ikut mendorong Paus Paulus II menyelenggarakan Hari Doa Sedunia Untuk Perdamaian di Assisi pada 27 Oktober 1986. Momen bersejarah ini erat kaitannya dengan ziarah perdamaian yang Tengah dirancang GMRI dan diharap dapat segera diwujudkan dalam waktu dekat.

Dalam versi M. Quraesh Shihab, Dokumen Abu Dhabi didahului oleh Konferensi Internasional tentang Persaudaraan Kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Majlis Hukama Al-Muslimin (Council of Muslim Elders) yang diketuai Imam Besar Al-Azhar yang beranggota ulama dan cendekiawan dati berbagai negara. Acara Konferensi dihadiri oleh berbagai tokoh dari berbagai agama dari berbagai negara untuk menemukan cara terbaik yang efektif guna mengukuhkan pergaulan dan persaudaraan internasional.

Penjelasan singkat dan tanggapan Dokumen Abu Dhabi yang diterbitkan oleh Obor dan disebarkan secara meluas oleh Konferensi Waligereja Indonesia ini mendapat sambutan dari para tokoh agama di Indonesia. Diantaranya adalah Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah, M. Quraish Shihab, Cendekiawan Muslim dan Mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII. Agaknya disinilah persinggungan program yang menjadi pembahasan utama antara Dr. (HC) KH> Habib Chirzin bersama Kardinal Ignatius Suharjo dengan Sri Eko Sriyanto Galgendu pada hari Minggu, 15 Juli 2024, seperti yang sekilas diungkapkan Sri Eko Sriyanto Galgendu, selaku Pemimpin Spiritual Nusantara yang kini mengemban seabrek amanah negara dan bangsa.

Habib Chirzin menguraikan juga  hubungan antara keamanan dan Kesehatan yang menunjukkan adanya pergeseran konte.kstual secara mendasar di era global. Karena dalam bidang Pembangunan manusia harus beradaptasi dan merespon perkembangan Mutahir yang terbaru yang sedang berlangsung. Keterkaitan Kesehatan dengan keamanan manusia, seperti ditunjukkan oleh gejala penyakit menular  dengan kemiskinan yang menunjukkan kerentanan. Realitas dari berakhirnya perang dingin, pemikiran baru dalam konteks pembangunan internasional dan kekuatan global memperkenalkan resiko keamanan manusia tidak terlepas dari keamanan Kesehatan.

Pada akhirnya, etika global dan pengarusutamaan keamanan manusia, tidak hanya terkait dengan etika organisasi internasional, LSM dan negara, tandas Habib Chirzin dalam naskah pidato pengukuhan penerimaan anugerah doctor honoris causa dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (hal 30). Tetapi juga erat terkait dengan etika individual  dan etika sosial.  Sebab perilaku etik dan interaksi yang berkontribusi terhadap keberadaan spesies dan individu dalam kaitannya dengan kehidupan dan kelangsungan hidup adalah bersifat etis.

Perilaku dan interaksi yang meningkatkan ancaman, kerentanan dan resiko dalam kaitannya dengan keberadaan spesies dan kehidupan individu adalah tidak etis. Sehingga Tindakan yang berkontribusi terhadap ketidakseimbangan  memerlukan perbaikan dalam bentuk Tindakan etis yang harus mendapat prioritas tertinggi. Karena tatanan global yang lebih baik memerlukan etika global. Posisi umum etika global yang disusun oleh PBB diharapkan berfungsi sebagai instrument untuk memegang nilai-nilai universal, seperti perdamaian dan kesetaraan sebagai dasar bagi dunia yang harus dihuni  dan dikelola bersama.

Kecuali itu, etika global mengacu pada seperangkat nilai moral dan standar etika yang dianut oleh berbagai agama dan budaya di seluruh muka bumi sebagai etika kemanusiaan seperti yang disebut oleh Profesor Hans Kung  sebagai “Etika Global”. Karena etika global diperlukan untuk bertahan hidup dengan menjalani kehidupan yang layak. Karenanya, tanpa consensus dasar tentang etika Masyarakat mana pun, cepat atau lambat akan terancam oleh kekacauan atau kesewenang-senangan seperti yang tengah terjadi di Indonesia hari ini.

Etika Global telah diadopsi dalam bentuk “Deklarasi Menuju Etika Global” oleh Parlemen Agama-agama  sedunia pada 4 September 1993. Dan untuk pertama kali dalam Sejarah manusia, perwakilan dari berbagai agama dan keyakinan menyepakati seperangkat nilai-nilai moral dan standar etika yang dimiliki oleh mereka semua. Adapun pijakan consensus tentang ilia standar dan sikap ini adalah “Perlakukan orang lain sebagaimana anda ingin diperlakukan” atau “Jangan perlakukan orang lain sebagaimana anda tidak ingin diperlakukan. Inilah, kata Habib Chirzin yang disebut Kaedah Kencana (Golden Prinsciple), kehidupan yang ditemukan dalam kitab suci semua agama besar – dengan kata ucap yang berbeda – tetapi dengan makna Ilahi yang sama. Dan inilah koeksistensi manusia yang damai.

Keselarasan dan kesepaduan antara keamanan manusia, indeks kebahagiaan dan nilai etika global dengan prinsip-prinsip utama dari maqashid al-syariah merupakan tujuan tertinggi dari pranata sosial hingga kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Maqashid syariah telah dirumuskan dengan indah oleh para ulama pada abad ke-5 hijriyah. Dalam budaya kekerasan (culture of violence) dengan berbagai bentuk structural violence, culture violence, ideological violence maupun technical violence serta physical violence yang semakin berkembang, kehidupan Masyarakat modern semakin kehilangan wajah kemanusiaannya. Untuk itu diperlukan suatu studi perdamaian (peace studies) Pendidikan perdamaian (peace education), pengembangan budaya damai  (peace culture) dan theology perdamaian (theology of peace) yang perlu dilakukan. Sehingga, apa yang harus dilakukan secara bersama antar umat beragama adalah membangun perdamaian yang sustainable. Sehingga dialog tentang topik  yang berkisar dari eksplorasi akar agama dan spiritual untuk menemukan kesamaan pengertian hingga penyebab konflik dapat menemukan solusi terbaik bagi semua pihak. Jika semua masalah dapat dimulai dengan pengakuan dan tanggung jawab bersama ancaman dan penderitaan, maka dialog antara agama dapat mengarah pada Kerjasama timbal balik mengenai isu-isu kritis yang dihadapi semua orang. Sebab masalah global adalah tantangan bersama yang harus dihadapi oleh semua agama dan budaya, sekaligus menjadi peluang besar untuk kerja sama timbal balik guna meredakan dan meredakan suasana konflik yang tidak memberi manfaat bagi banyak pihak.

Banten, 18 Juli 2024

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment