Tiga Sahabat Manula Yang Asyik Menikmati Perjalan Spiritual Dalam Usia Senja
Oleh:Jacob Ereste
Mediapertiwi,id-Kata kawan seorang penulis, kecerdasan spiritual itu beranjak dari pengalaman dan pengetahuan. Berbeda dengan kecerdasan intelektual yang bertumpu pada akal pikiran. Karena itu, kecerdasan spiritual hanya mungkin diperoleh dari pengembaraan serta pengalaman batin yang harus ditekuni sehingga menjadi suatu pengetahuan yang sulit dipahami sebagai sesuatu yang bersifat keilmuan, seperti yang dapat dimiliki oleh para ilmuan.
Pengalaman spiritual itu, ujar kawan yang juga seorang penulis, bisa diperoleh melalui peristiwa yang paling sederhana hingga yang suatu kejadian yang sangat menakjubkan. Jadi, masalahnya sangat tergantung dari masing-masing orang untuk menghayati dan mencermatinya sebagai petunjuk jalan spiritual.
Kisah tiga orang manula yang sudah melampaui usia rata-rata manusia hidup di dunia, justru muncul pada waktu bangun tidur. Ia mulai merasa takjub, setiap kali bangun tidur menyadari diri masih tetap diberi umur panjang oleh Tuhan. Sebab dia selalu berpikir, pada usianya yang sudah lanjut itu, sudah saatnya akan dijemput oleh kematian. Dalam kesadaran seperti ini pula, dia tidak hanya semakin menyadari cinta kasih Tuhan yang masih memberinya umur panjang itu, jauh melebihi umumnya usia orang dalam takaran yang biasa.
Pengakuan serupa ini pun, juga diakui oleh rekannya yang juga seusia dengan dirinya. Sehingga, dari kesadaran dan ketakjuban pada setiap dia bangun dari tidur, menyadari dirinya belum juga mati. Itulah sebabnya, kata kawan penulis yang Lian ini, dia semakin rajin berdo'a syukur. Bukan saja karena dia telah puas menikmati hidup bersama anak-anaknya yang terbilang sukses, tapi juga dia sempat menikmati hidup dengan cicitnya yang dilahirkan oleh cucu-cucunya.
Kesadaran pemahaman serupa inilah, intensitasnya untuk selalu bersyukur kepada Tuhan dia bisikkan kepada Tuhan hampir pada setiap kesempatan.
Bagi saya, kata kawan manula itu, dalam setiap doanya tidak lagi perlu merasa untuk meminta sesuatu dari Tuhan. Karena yang ucapkan hanyalah puji syukur semata. Lantaran nikmat yang telah dia peroleh selama hidup sudah lebih dari cukup -- tak cuma sekedar sehat walafiat -- tetapi juga anak dan cucu hingga cicit yang sangat dia paham tak dapat dirasakan oleh banyak orang.
Apalagi bila mengenang sejumlah kawannya yang mati dalam usia relatif muda, tak sempat menghantar -- apalagi untuk melihat -- anaknya menetas dan memberinya cucu yang cantik dan cerdas, sehingga telah memberi kebahagiaan tersendiri yang patut disyukuri.
Penuturan dari para manula yang sepakat miliki pemahaman dan pengalaman spiritual sama ini, justru mereka celotehkan dalam suasana santai saat perjalan pulang dari pakansi bersama menikmati suasana gunung dan laut yang mereka sadari begitu indah dengan deburan ombak yang tak pernah lelah.
Dari keindahan gunung yang menakjubkan itu serta semangat ombak yang tak pernah lelah itu, mereka meyakini semacam sapaan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dengan segala Kekuasaan yang tiada bandingan.
Begitulah, pengalaman spiritual yang mereka cercapi di usia senja, seperti laut yang tidak pernah berkeluh kesah untuk terus bergerak, menyapa alam dengan deburannya.
Angin laut pun yang bernyanyi tentang gairah hidup, mampu mereka nikmati seperti simfoni yang tengah melantunkan harmoni kehidupan yang mungkin tidak bisa dirasakan oleh semua orang.
Begitulah pengakuan jujur tiga orang kawan manula yang kusimak celotehan mereka dengan penuh rasa kecemburuan yang sungguh sulit untuk aku formulasikan, sungguhkan saat menunggu ajal kematian pun dapat dapat dilakukan dengan riang gembira, seperti mereka yang selalu merasa adanya keajaiban pada setiap saat bangun tidur, belum mati juga. Yang pasti, mereka sungguh berbahagia menikmati perjalanan spiritual sampai usia senja. Seperti sosok matahari yang aku lihat mulai meredup yang ditingkahi oleh rembulan setengah mengintip dibalik awan pada langit yang cerah.
Banten, 30 Juni 2024 .
Post a Comment