No Viral, No Justice : Bukti Peran Media Sosial Semakin Penting & Perlu
Oleh:Jacob Ereste
Mediapertiwi,id,-No viral, no justice. Arti sederhananya adalah, tidak viral, tidak ada keadilan. Maka itu sebuah kasus yang tidak bisa disentuh oleh hukum harus diviralkan. Dan untuk memviralkan suatu kasus agar bisa mencuat kepermukaan dan mendapat perhatian publik harus diviralkan. Karena itu betapa pentingnya media sosial yang berbasis internet sekarang ini, dibanding media maenstrem yang nyaris tidak berdaya mengimbangi media sosial yang begitu cepat dan mampu menjangkau khalayak pembaca di seluruh sudut bumi yang mungkin tidak mampu dijangkau oleh media meanstrem.
Agaknya, karena itu para ahli dan pakar media massa kini semakin tertarik dan terpukau oleh media sosial berbasis internet yang harus diperhitungkan daya dobraknya menembus batas yang tersekat oleh tempat dan waktu yang mampu diperankan oleh media sosial. Lantaran sarana informasi, komunikasi bahkan publikasi kini mampu dirangkum sekaligus oleh media sosial berbasis internet. Para pakar ilmu komunikasi dan publikasi maupun informasi semakin menaruh keyakinan dan kepercayaan kepada media sosial berbasis k.
Internet, terlepas dari pemanfaatan yang bisa digunakan untuk kepentingan lain, seperti penyadapan atau pencurian data untuk kepentingan yang bisa lebih membahayakan tata kehidupan manusia, atau semacam tindak kejahatan yang mempu menggoyahkan suatu Negara atau komunitas suatu bangsa yang ingin dipunahkan hidup serta ekdistensinya dari muka bumi.
Keluhan terhadap suatu kasus yang luput dari perhatian publik misalnya, dua orang muslimah yang memiliki reputasi kaliber dunia misalnya, memang akan mengalami nasib atau semacam perjalanan hidup yang berbeda, hanya karena tidak tersentuh oleh media massa -- khususnya media sosial yang kini dapat didaya gunakan secara maksimal. Sehingga ikhwal dari rumusan baru tentang hukum dalam masyarakat bahwa no viral, no jastice bisa diuji keampuhannya, seperti yang telah diterapkan oleh Prof. Machfud MD dan Prof. Denny Indrayana dalam mengungkap kasus berat yang sulit ditembus oleh para penegak hukum. Jadi kasus dua orang muslimah yang dianggap memiliki reputasi kaliber dunia, tetapi nasib mereka bisa berbeda itu, agaknya lantaran tak mengindahkan pakem baru dari hukum yang kini berlaku dalam masyarakat yang tak acuh manakala tidak digedor oleh berita yang membombandir sifatnya itu. Sehingga no viral, no jastice dapat dilompati dengan indah dan mulus.
Kisah tragis Dr. Aatifa Siddique yang sukses dalam bidang akademik hingga memiliki keahlian yang sangat besar manfaatnya bagi kemanusiaan, tapi menjadi ancaman bagi rezim yang tengah berkuasa, maka keberadaan dirinya yang menjadi ancaman bagi kekuasaan atas prestasinya itu, maka hidup dan masa depan kariernya itu dianggap perlu untuk dimatikan. Caranya pub bisa dikakukan secara fisik atau dengan cara yang lain, seperti rekayasa kriminalisasi yang sistimatis dan terencana rapi. Sehingga, bukan saja reputasinya yang gemilang itu tak bisa muncul dan tidak memberi manfaat bagi orang banyak, tapi dirinya tersiksa dan teraniaya.
Prestasi seorang anak manusia memang bisa dianggap ancaman bagi manusia yang lain, misalnya karena prestasinya itu akan mematikan prestasi jahat pihak tertentu yang sedang berjaya diatas kekuasaan.
Hasil temuan Dr. Aarifa Siddique memang sangat bermanfaat bagi kemanusiaan, tetapi hasil temuannya itu menjadi ancaman bagi suatu usaha yang sudah dipelihara dengan susah payah oleh rezim penguasa.
Ilmu syaraf yang berkaitan erat dengab neorologi yang dipelajarinya di Massachusetts Institute of Technology, sehingga program inovatif yang ditekuninya mampu melindungi tubuh manusia dari dampak dan pengaruh senjata biologis yang dikembangkan Amerika dengan biaya miliaran dollar. Pendek cerita, kata nara Suriani binti Geri, pada Maret 2023 petugas rahasia Amerika menculik Aarifa Siddique bersama ketiga anaknya dengan bantuan intelijen Pakistan dengan tuduhan sumir yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda.
Kehidupan yang tragis Dr. Aarifa Siddique, mampu diungkap oleh Yvonne Ridley wartawati Inggris yang mengunjungi penjara Bagram, Afganistan dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi.
Nah, kisah tragis Dr. Aarifa Siddique yang memiliki reputasi luar biasa ini yang dipadankan dengan kisah Putri Ariani yang viral dan mendapat perhatian serta simpati dunia, meski reputasinya itu tidak memiliki keterikatan langsung dengan kemanusiaan secara lebih meluas. Tetapi ikhwal viralnya pemberitaan justru lebih meraih banyak simpati bagi publik. Artinya, premis no viral, no justice semakin nyata bisa diusung oleh media sosisl berbasis internet yang kini semakin berada di atas angin, bila hendak dibanding dengan media maenstrem yang kini hidup seperti kerakap di atas batu. Hidup segan mati pun enggan.
Jadi atas dasar cerita kedua wanita muslimah di atas yang baru viral kemudian setelah mendapat ulasan panjang lebar dari berbagai kalangan, maka makin nyatalah peran media sosial mampu menembus baras dan sekat, seperti kecemasan kaum nelayan di Nusa Tenggara Barat akibat dari pemberlakuan izin tambang pasir laut yang tidak cuma merusak lingkungan itu, tapi juga mengancam mata pencaharian para nelayan yang semakin sulit mendapatkan ikan.
Atau seperti keresahan warga masyarakat di sekitar lokasi dari rencana pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur yang terkesan tidak diajak atau diberi kesempatan untuk mengisi berbagai kesempatan kerja dari proyek pembangunan IKN. Termasuk aspirasi dan permintaan warga masyarakat adat setempat yang meminta perlakuan adil atas penggunaan lahan di wilayah hidup dan penghidupan mereka. Dan tampaknya, untuk banyak hal sekarang, jika tidak viral, maka tidak akan ada keadilan.
Inilah, agaknya peran besar dari media sosial berbasis internet, termasuk dalam peran sertanya mengawasi proses Pemilu (Pilpres, Pileg dan Pilkada) yang akan berlangsung dan pasti semakin seru. Utamanya setelah media sosial ikut berperan secara maksimal dan total melakukan pemantauan dan pengawasan bagi pelaksana, peserta dan pemilih dalam pesta demokrasi yang mencapai klimaksnya pada tahun 2024.
Banten, 17 Juni 2023.
Post a Comment