Meski Tak Lebih Baik, Janganlah Wariskan Negeri Ini Dalam Keadaan Yang Rusak Parah Kepada Anak Cucu Kita
Oleh: Jacob Ereste
Mediapertiwi,id-"Hidup hanya sekali berarti, setelah itu mati...", kata penyair Chairil Anwar. "Hidup dipenghujung hayat, tinggal memperindah batu nisan saja", kata penyair lain yang mendapat kesempatan hidup lebih panjang usianya. Karena itu, ekspresi rasa syukur dia terus bergiat untuk berbuat yang terbaik guna genenasi anak dan cucunya.
Bagi dirinya sendiri, sesungguhnya semua sudah selesai. Karena itu diujung usia senjanya, dia hanya ingin membalas bonus yang dikirim dari langit, sebagai ungkapan terima kasih dan syukur yang tidak mungkin mampu dia rampungkan sampai ke liang lahat.
Disela renungan rindu dan kangen, ia menemukan hikmah cinta terhadap anak dan cucunya yang kini mulai membangun ladang penghidupan di seberang sana. Rindu dan kangen itu bagi dia bisa dipahami sungguh religius dan sakral, karena mampu menuntun jalan lurus spiritual yang semakin mengasyikkan dirinya.
Kematian pun semakin dia pahami dengan keramahan dan keridhaan yang tidak mungkin pernah dinikmati oleh setiap orang. Itulah sebagian dari sejumlah rasa keberuntungan dirinya yang selalu disyukuri.
Seperti sikap keperduliannya pada sesama manusia yang gigih mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dan martabat serta harga diri yang luhur sebagai bagian dari upaya menjaga otentisitas keillahian fitrah pemberian dari langit bersama segenap nikmat rachmatan lil alamin yang tiada batas dan tiada bertepi itu.
Karenanya, dalam usianya diujung senja sekarang tiada pernah hendak dia berpangku tangan dari kegaduhan jaman yang perlu ditertibkan. Apalagi sekedar untuk cari selamat bagi dirinya sendiri, hingga tak hirau untuk ikut menata bumi agar harmoni dan sinkron dengan derap awan di langit yang berarak-arakan.
Maka itu budaya feodal dan amtenar yang diwariskan keluarga dan tetangga dahulu telah dia kubur sejak masa sekolah rakyat. Ia melupakan tradisi kelangenan seperti memelihara perkutut di beranda rumah. Seakan-akan tak cukup banyak urusan penting yang perlu untuk diluruskan agar bencana masa depan yang telah lalai diperhitungkan dapat dapat kembali dikaji ulang.
Duduk manis di beranda rumah sambil menikmati masa jaya yang pernah dicapai dengan susah payah dahulu, sungguh baik tiada ada yang salah. Tapi nyinyir dan latah menyalahkan orang lain memilih untuk terus aktif dan berbuat atas dasar keyakinan yang baik dan benar, agaknya tak cukup bijak. Apalagi kemudian beranggapan terbaik pada pilihan sendiri sambil ceriwis untuk mencerca pilihan sikap orang lain, karena tidak senada atau bahkan tidak searah dengan sikap dan pilihan kita yang mungkin justru lebih puritan.
Menikmati masa tua itu tidak cukup karena merasa aman dan nyaman dengan deposito yang cukup atau berlebih, sehingga tidak lagi merasa perlu -- atau berkewajiban -- untuk terus berbuat baik bagi bangsa dan negara yang memerlukan sumbangan pemikiran serta dharma bakti untuk masa depan yang lebih baik, lebih nyaman dan aman sehingga kebahagian dapat lebih merata dinikmati oleh banyak orang.
Agaknya, pilihan sikap serupa ini merupakan upaya minimal dari peran serta menekan arus kapitalisme global terselubung yang selama ini ikut memanfaatkan kelalaian kita yang abai atau bahkan ikut menyuburkan bertumbuhnya sikap kemaruk itu dalam diri kita, hingga harga diri dan kepribadian bangsa yang tergerus tak lagi memiliki ghirah heroisme patriotik yang luntur, hingga tata kelola negara -- yang berdampak langsung bagi bangsa -- menjadi amburadul tak karu-karuan.
Maka itu atas rasa tanggung jawab dan sikap nasionslisme, kebobrokan ini tidak boleh dibiarkan. Sebab kita tidak ingin mewariskan kerusakan dan kebusukan yang tak patut diterima oleh anak cucu kita.
Kemampuan kita mewariskan negeri ini dalam kondisi yang baik, pasti kelak akan dikenang oleh anak cucu kita. Namun jika yang terjadi justru sebaliknya, maka hujatan atau bahkan dera dan derita akan jadi legenda bagi anak cucu kita juga. Jadi itulah kelak, bekal spiritual yang akan terus kita dibawa sampai ke alam baka dan menjadi ornamen penghias batu nisan.
Banten, 9 April 2023
Post a Comment