Heterophobia Oligarki Politik dalam Tindakan Inkonstitusional KPU Terhadap Partai Prima
Ahmad Suban Rio
Pegiat Kelompok Studi Kader Klasika
SEJAK awal akan saya tegaskan, tulisan ini saya arahkan pada setiap individu, kelompok bahkan pemerintah yang tergesa-gesa menghakimi, menolak, dan mencaci putusan Pengadilan Negri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU. Dalam gugatan itu, salah satu poin yang dikabulkan ialah penundaan proses pemilihan umum hingga 2025.
Saya akan memulai dari uraian kronologis gugatan hingga PN Jakarta Pusat menunda pemilu 2024. Meski singkat, namun ini menjadi penting agar dapat diperhatikan secara seksama. Tuntutan itu berawal dari adanya indikasi kecurangan pada putusan KPU terhadap Partai Prima yang menyatakan partai tersebut tak lolos menjadi peserta pemilu 2024.
Dalam putusannya, KPU menyatakan Partai Prima tidak memenuhi syarat alias TMS sebagai peserta Pemilu. Padahal, pihak Partai Prima telah memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan. Seperti yang disampaikan oleh pihak Partai Prima, terjadi perubahan dari hasil sistem informasi partai politik (SIPOL) KPU dari Partai Prima yang semula telah dinyatakan memenuhi syarat 100 persen tiba tiba berubah menjadi 97 persen.
Karena ada indikasi kecurangan, pihak partai langsung melakukan upaya hukum. Salah satunya menggugat hasil SIPOL KPU ke Badan Pengawas Pemilu (bawaslu). Bawaslu sudah mengakui bahwa ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU, sehingga partai prima diberikan waktu 1×24 jam untuk memperbaiki.
Sayangnya, KPU tidak benar-benar menjalankan putusan dari Bawaslu, sehingga beberapa hak dan beberapa bagian dari ketentuan tidak benar-benar dijalankan.
Atas dasar itulah, Partai Prima melayangkan surat yang meminta KPU dmenjalankan keputusan Bawaslu, dan lagi-lagi surat tersebut tidak di tindak lanjuti. Setelah itu, Partai mencoba mengajukan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).
Lantaran belum tercatat sebagai partai politik peserta pemilu, yang itu juga disebabkan dari masalah awal, maka Partai Prima tidak memiliki legal standing untuk menyampaikan gugatan terhadap KPU di PTUN.
Oleh sebab itulah, mereka meneruskan gugatan terhadap KPU ke Pengadilan Negri (PN) Jakarta Pusat dan menghasilkan beberapa putusan termasuk di dalamnya penundaan penyelenggaraan pemilihan hingga 2025. Sampai titik inilah kemudian beragam respon mulai dilayangkan, meski mayoritas respon menggugat putusan dan menolak, bahkan mencaci putusan tersebut.
Dari paparan kronologis di atas, ada beberapa hal yang nampak. Pertama, rumitnya proses pendaftaran partai untuk ikut serta dalam kontestasi politik tentu menghambat laju pendewasaan politik di Indonesia. Sebab, rumitnya persyaratan hanya menguntungkan partai besar yang sudah sejak lama bercokol di dunia poltik Indonesia. Alhasil, politik di Indonesia hanya diwarnai oleh partai-partai itu saja.
Selain itu, dari kronologi itu juga masih terdapat banyak hal yang mestinya bisa di tangkap dengan mudah. Baik sebagai indikasi kecurangan dan lain-lain. Namun, saya tidak ingin tulisan ini diarahkan untuk menangkap fenomena pada level permukaan saja. Hal itu cukuplah jadi konsumsi bagi mereka yang memang tidak ingin menyelami lebih jauh akar persoalan, dan bagi intelektual yang merespon persoalan itu hanya sekedar bunyi-bunyian atau ikut-ikutan.Saya lebih memilih ntuk mengajak pembaca, itupun hanya bagi yang berminat dan belum terjangkit kecacatan nalar akut, sehingga tulisan ini dapat dilihat secara jernih sebagai wacana intelektual, dan tidak ditanggapi dengan narasi sentimental yang tidak mendidik.
Heterofobia dalam politik prosedural kita
Saya tidak mau menyebutkan, masalah dalam kasus partai Prima hanya disebabkan oleh masalah teknis penginputan. Bayangkan saja, anggaran yang dikucurkan untuk mendukung kegiatan ini tidak main-main. Dari situ saja, dapat dilihat bahwa pemerintah dan penyelenggara pemilu benar-benar “serius” menyiapkan proses Pemilu.
Lagi pula, jika hanya disebabkan oleh kesalahan teknis, mestinya tidak perlu ada drama berbelit-belit yang akhirnya mengorbankan hak politik seseorang atau kelompok yang dalam hal ini dialami oleh Partai Prima.
Direnggutnya hak politik ini, tentu tidak di lihat oleh orang-orang yang menolak putusan PN. Mereka hanya menilai, bahwa putusan PN tidak berdasar karena tidak sesuai dengan prosedural, tidak ada hak PN untuk menunda Pemilu. Pada titik ini justru yang sangat menggelikan, bahkan mendekati menjijikan, sebab yang merespon dan menolak bukanlah orang-orang biasa atau intelektual abal-abal.
Beberapa penilaian nyeleneh banyak berseliweran. Bahkan yang paling nyeleneh, adalah penilaian yang menuduh adanya tindakan terorganisir untuk membatalkan Pemilu. Tapi yang menarik, di saat yang bersamaan juga ada indikasi penolakan yang terorganisir terhadap putusan PN tersebut. Bayangkan, antara narasi nasional hingga di daerah bak gayung bersambut. Mereka secara serentak, menyampaikan penolakan terhadap putusan itu. Saya tentu curiga, bagaimana mungkin, dalam satu peristiwa, seluruh intelektual kita berpandangan yang sama persis dan senada.
Dari hal tersebut, saya justru lebih setuju menyebutkan bahwa ada indikasi penolakan terorganisir terhadap putusan PN. Penolakan itu tentu bukan diarahkan pada PN semata, namun lebih diarahkan untuk menjegal gerakan politik yang dilakukan oleh Partai Prima. Hal itu tentu didasari oleh ketakutan berlebih dari beberapa pihak terhadap gerakan politik Partai Prima. Pertanyaan lanjutannya, lalu siapa sebenarnya Partai Prima? Sehingga begitu menakutkan bagi beberapa pihak tersebut.
Prima merupakan partai yang dipimpin oleh Agus Jabo Priyono sebagai ketua umum, dan Dominggus Oktavianus Tobu sebagai Sekjen. Agus dan Dominggus merupakan aktivis 98 yang melawan rezim Soeharto di era Orde Baru. Agus adalah ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang pernah mengikuti Pemilu 1999.
Selain itu, anggota Prima memiliki latar belakang aktivis organisasi gerakan sosial, serikat buruh, aktivis islam, hingga aktivis perempuan dan pemuda. Tidak berlebihan jika kemudian saya (dengan sangat subjektif) melebeli mereka sebagai partai sayap kiri, yang tentu di pihak kanan adalah kelompok Pro Pemerintah yang saat ini memegang status quo.
Selain itu, posisi Ketua Majelis Pertimbangan Partai Prima adalah sosok Purnawirawan jenderal TNI Angkatan Darat. Yaitu Mayjen (Purn) R Gautama Wiranegara. Semasa aktif, Gautama adalah tentara yang bergerak di badan intelejen strategis(BAIS) TNI.
Dari sini tentu dapat di lihat, bahwa standing position dari Partai Prima berhadap-hadapan dengan pihak partai pemegang status quo, saya tidak ingin menyebutkan satu-persatu, yang pasti pihak lain yang saya maksud ialah partai-partai politik yang sudah lama menguasai dunia politik di Indonesia.
Pada titik inilah, saya meminjam istilah Heterofobia yang saya dapat dalam buku memahami negativitas karya F. Budi Hardiman. Istilah heterofobia merujuk pada rasa takut akan yang lain. Kata yang lain berarti memberikan pemisahan yang jelas antara aku, atau kita dengan dia, dan atau mereka. Aku atau kita, di satu pihak memiliki standar normalitas yang tentunya dianut oleh yang mayoritas.
Sisi yang lain, atau dia dan mereka memiliki sesuatu yang dianggap di luar standar normalitas. Sehingga pada titik ini menjadi jelas, bahwa kita yang mayoritas berbeda dengan mereka. Sayangnya, perbedaan ini tidak ditanggapai dengan nada positif, heterophobia lebih memposisikan mereka sebagai yang menakutkan, sebagai sesuatu yang lain, yang harus di berantas.
Sebab mereka yang berbeda, dapat mengancam standar normal yang dipercaya atau yang dipegang oleh yang mayoritas. Sebab di anggap sebagai sesuatu yang lain, maka yang di anggap yang lain itu harus diberantas dan dihabisi. Secara naluriah anggapan saat melihat yang lain akan mendorong seseorang untuk menghilangkan dan menghabisinya, penghancuran dan pembinasaan itu bukan saja karena takut akan ancaman yang lain, namun juga dianggap sebagai legitimasi untuk menguatkan kekuatan “aku, atau kita” untuk mendominasi yang lain.
Pada kasus ini, saya memposisikan Partai Prima adalah “yang lain” di satu pihak, dan oligarki politik di Indonesiasebagai yang mayoritas di satu pihak, yang memiliki standar kenormalan. Dalam posisi ini dapat di tarik kesimpulan bahwa, seluruh rentetan peristiwa, di mulai dari rumitnya aturan formal dan prosedural pada pencalonan partai politik, hingga pencekalan terhadap partai prima dan penolakan putusan PN bukanlah fenomena sentimental dan disebabkan oleh kelalaian manusia secara teknis semata. Melainkan, seluruh upaya itu adalah upaya yang mayoritas, yang mengidentifikasi dirinya sebagai “kita” untuk menjegal mereka yang berada pada posisi yang lain.
Menjadi wajar, jika ada narasi satu arah yang dilakukan secara serentak untuk melakukan penolakan terhadap putusan PN, saya tentu tidak ingin mengakui bahwa setiap pernyataan penolakan terjadi secara alamiah, sebagai tindakan refleks, sebab menurutku tindakan itu tidak mencerminkan keberpikiran, dan bagaimana mungkin jika yang menolak adalah akademisi, pengamat politik, intelektual, organisasi kemasyarakatan, sampai dengan pemerintah tidak melibatkan situasi keberpikiran dalam menganalisis. Satu-satunya argumen yang dapat meringankan tuduhan ini ialah, bahwa setiap yang menolak mengidap ketumpulan nalar sehingga dalam melihat kasus ini sangat prosedural dan serba permukaan.
Sesuai dengan apa yang saya tuduhkan, yang lebih mengerikan bahwa penolakan tersebut berangkat dari ketakutan mayoritas akan kehadiran yang lain, yang di anggap dapat merusak status quo kekuasaan yang mereka kuasai. Sehingga melukakan konsolidasi dan pengorganisiran utnuk melakukan penolakan.
Sampai dengan simpulan ini, saya belum mendapatkan alasan yang rasional kenapa putusan itu harus di tolak. Bukan putusan PN yang harus dipermasalahkan, tapi tindakan pencekalan yang menjadi sebab permasalahan, yang benar-benar harus dicermati. Sebab, tidak butuh analisis panjang untuk menyebutkan bahwa pencekalan itu adalah pengingkaran terhadap prinsip demokrasi dan konstitusi kita yang telah menjamin setiap orang memiliki kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat.
Selama tidak ada alasan yang rasional, maka selama itulah saya dengan tidak ragu dan secara lantang akan menganggap siapa saja yang menolak telah mengidap kegagalan fungsi nalar akut, yang menyebabkan mereka tidak bisa berpikir, akibatnya tertutuplah peluang keberpikiran bagi dirinya.
Tentu saja, jika sudah demikian, maka hilanglah hakikat ia sebagai manusia, sebab merujuk pada apa yang di sampaikan oleh Rene Descartes, hanya keberpikiranlah yang menjadi penegas bagi eksistensi manusia.
Wasalam.
Post a Comment