Laku Spiritual itu Seperti Langit Diluar dan Langit di Dalam Bersatu Dalam Jiwa
Oleh:Jacob Ereste
Mediapertiwi,id-Tampaknya, lantaran manusia mulai Alfa menyapa Tuhan, maka Tuhan Yang Maha Pengampun itu pun yang berkenan menyapa manusia dengan cara dan bahasa Bhuana seperti yang acap dikatakan Wali Spiritual Indonesia, Sri Eko Sriyanto Galgendu dalam istilahnya yaitu bahasa bumi.
Adapun bahasa bumi yang terwujud dalam sapaan Tuhan itu boleh jadi seperti Dia tampilkan Guntur yang menggelegak di langit. Lalu topan dan badai pun ikut bersuara hingga gempa bumi yang mengicuh jagat serta hujan yang tumpah seakan sedang membasuh kekotoran di alam jagat ini.
Di negeri Arab pun yang dominan panas dan gersang itu terjadi banjir bahkan hujan es. Lantas sapaan seperti apa lagi yang dihadirkan ketika manusia masih enggan menyapa Tuhan ?
Padahal, saat sembelit susah buang air besar -- bahkan juga air kecil -- permohonan ampun yang diucapkan tidak sungguh serius, karena lebih dominan mengusung keluhan semata, tanpa pernah menoleh pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Pengampun itu.
Do'a pun terkadang hanya dilafaskan saat susah dan terjepit, tak pernah ada puji syukur yang dilipat gandakan untuk segenap nikmat yang telah diperoleh. Sebab ketamakan dan kerakusan senantiasa selalu dirasa tak pernah cukup untuk memuaskan dahaga duniawi.
Angan kebebasan dan keleluasan justru dibiakkan dengan menyandera pihak lain. Burung yang berterbangan bebas di alam banyak dikerangkeng dalam sangkar atas nama cinta suara kicaunya yang merdu. Demikian agaknya pada habitat politik nyata di negeri ini, terlebih saat menyongsong Pilpres dan Pilkada maupun Pileg tahun 2024 yang latah disebut-sebut sebagai kegembiraan pesta demokrasi
Sungguhkah gerakan bagi-bagi angpau dan bingkisan lainnya itu merupakan keikhlasan hati tanpa pamrih. Seperti upaya dari sebuah instansi yang tengah didera beragam hujatan lantaran aparatnya banyak terbukti bermental dan bermoral bobrok. Lalu beragam kegiatan yang intinya untuk memulihkan citra yang terkuat dalam berbagai lini dan sektor itu hendak ditutup dengan aksi sosial, bagi-bagi sembako bahkan mau ikut membersihkan desa dan membantu petani menuai hasil panen di sawah maupun ladang mereka.
Padahal, kamuflase semacam bukan tak dipaham oleh kami sebagai penduduk kampung yang acap dianggap lugu dan bodoh. Namun berkat tenggang rasa dan tepo seliro yang masih tatap terpelihara, semua itu kami sikapi dengan hati penuh ugahari.
Hujan dan badai sudah mereka, tapi tasbih dan zikir tetap perlu diperbanyak, agar gelegak gunung merapi yang ketat memagari negeri kita tetap ramah dan jinak tak digerakkan oleh tangan ghaib yang tak pernah bisa kita ketahui kepastiannya. Sebab bencana kecil yang berskala sektoral dan regional mungkin masih akan meletup. Karena kemampuan manusia cuma sebatas daya pikir, tidak sejauh daya nalar roso dan instink yang hanya mampu dijangkau dengan frekuensi spiritual. Dan jalan menuju Tuhan itu tampaknya tak ada dijalur politik, termasuk di gudang ekonomi sekalipun tempat menyimpan harta benda entah dari mana asalnya dikumpulkan. Apalagi harus disigi dari cara dan modelnya menggerauk harta benda itu, ketika hendak dipastikan kadar halal dan keharamannya.
Ketika do'a dan zikir sudah dikirim ke langit, bagi kaum sufi itu bukan berarti batas untuk menyerah sudah terlampaui. Ikhtiar, tetap harus dilakukan, mulai dari do'a, laku dan aksi nyata dalam bentuk tauladan, setidaknya tak merusak tatanan sosial dalam masyarakat dan tak abai pada alam lingkungan sebagai bagian dari ayat-ayat Tuhan. Sehingga dari Tuhan, untuk manusia dan alam semesta, bisa terus berputar dalam siklus yang pasti, yang disebut sunnatullah.
Dan hukum maupun rumusan dari Tuhan itu, tidak bisa ditawar-tawar seperti dalam peradilan negara yang mulai dikompromikan hingga mengabaikan keadilan. Maka itu, keadilan pun sekarang cuma ada di langit.
Turunan putusannya berupa azab itu pasti, meski tak langsung menyasar diri kita yang berbuat culas. Artinya bisa lebih perih dera deritanya, ketika harus dikenakan pada anak atau istri hingga cucu kita.
Begitulah makna pemahaman atas berkah dan azab dalam pandangan para pelaku spiritual yang tetap tekun dan teguh meniti jalan sepi, seperti kaum sufi. Dalam ungkapan sajak seorang penyair, begitulah langit di luar dan langit di dalam bersatu dalam jiwa. Sebab kepongahan intelektual pun bisa kualat pada keugaharian spiritual.
Banten, 26 Januari 2023
* Penggalan sajak "Langit di Luar dan Langit Di Dalam Bersatu Dalam Jiwa" adalah karya almarhum penyair dan dramawan besar Indonesia, H.Wahyu Sulaiman Rendra.
Post a Comment