KEMENDIKBUDRISTEK GANDENG IBU PENGGERAK HILANGKAN TIGA DOSA BESAR PENDIDIKAN
Mediapertiwi,co.id.Tangerang--Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi (Kemendikbudristek) bersama Ibu Penggerak berupaya menuntaskan “tiga dosa besar” dalam dunia pendidikan. Upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk komitmen dalam mewujudkan pembelajaran yang nyaman dan aman bagi anak di sekolah.
Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, Anang Ristanto menyampaikan hingga saat ini Kemendikbudristek terus berupaya menghapus “tiga dosa besar” dengan mendorong satuan pendidikan untuk mengimplementasikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan serta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
“Ini adalah salah satu komitmen kami untuk terus mewujudkan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan,” tutur Anang saat ditemui dalam Pelatihan Fasilitator Ibu Penggerak di Tangerang, Jumat (11/11).
Mendukung penghapusan “tiga dosa besar” dari dunia pendidikan, Maria Hardono, salah satu Ibu Penggerak yang tergabung dalam Komunitas Sidina berkomitmen untuk membantu Kemendikbudristek dengan menyosialisasikan dan menerapkan pola pengasuhan yang positif terhadap anak-anak.
Berprofesi sebagai psikolog, Maria pernah mengalami perundungan saat masa kecilnya. Terlahir dengan disabilitas penglihatan (low vision), dahulu Maria pernah mengalami intoleransi dan perundungan di sekolah. Lebih dari itu, saat ia megenyam bangku pendidikan, banyak guru yang mendidik dengan menerapkan sedikit kekerasan di sekolah.
“Dari situ saya merasa bahwa “tiga dosa besar” ini benar-benar perlu dihapus dari dunia pendidikan, karena sangat berpengaruh terhadap psikologis kita. Apalagi dengan pekerjaan saya sekarang, saya banyak menemukan kasus-kasus yang terjadi pada anak-anak akibat perundungan, intoleransi, maupun kekerasan,” ujar Maria.
Untuk mengurangi “tiga dosa besar”, Maria menceritakan hal-hal yang ia lakukan. Dimulai dari lingkungan keluarganya, Maria menerapkan pola pengasuhan positif terhadap kedua anaknya. Ia menanamkan cinta kasih, saling menghargai, berpikir positif dan terbuka, menumbuhkan empati, serta keterampilan bergaul dan berkomunikasi.
“Harapannya dengan penerapan kemampuan-kemampuan ini bisa menjadi bekal anak dalam bergaul bersama teman-temannya, sehingga perundungan, intoleransi, dan kekerasan tidak terjadi,” imbuh Maria.
Selain menjalin komunikasi dan kedekatan emosional dengan anak-anaknya, Maria juga melakukan penyebaran informasi yang diperoleh dari Kemendikbudristek terkait “tiga dosa besar” kepada para orang tua siswa di sekolah anaknya. Dari situ, diungkapkan Maria bahwa mereka bisa saling berbagi ilmu dan informasi terhadap perkembangan anak-anak di sekolah, sehingga mereka bisa belajar dengan aman dan nyaman tanpa “tiga dosa besar”.
“Saya juga berusaha menjalin relasi baik dengan guru-guru di sekolah anak-anak saya, sehingga jika terjadi perundungan, intoleransi, dan kekerasan saya bisa mengetahui serta bisa memberikan saran atau masukan dengan nyaman kepada pihak sekolah,” jelas Maria.
Senada dengan itu, Anggie Puspa Anggraeni, Ibu Penggerak dari Bogor, Jawa Barat mengantisipasi terjadinya “tiga dosa besar” dengan menanamkan toleransi atas keberagaman yang ada di lingkungan sekitarnya. Menurutnya, menghargai dan menerima perbedaan adalah landasan yang kuat agar anak bisa memiliki rasa empati terhadap sesama.
“Saya menyekolahkan anak saya di salah satu sekolah inklusi swasta. Di sana terdapat anak berkebutuhan khusus serta beragam agama dan ras, sehingga anak saya terbiasa menerima dan menghargai perbedaan setiap harinya,” ujar Anggie.
Citra Dewi, Ibu Penggerak dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah turut prihatin dengan adanya kasus perundungan, intoleransi, dan kekerasan di sekolah. Ia berharap agar upaya Kemendikbudristek dalam menghapus “tiga dosa besar” di dunia pendidikan dapat terus dilakukan dan mendapat dukungan dari masyarakat.
“Semoga kebijakan ini bisa terus dilakukan sehingga tidak terjadi lagi perundungan, intoleransi, dan kekerasan di sekolah. Dukungan dari berbagai pihak termasuk Ibu Penggerak mudah-mudahan dapat meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diinginkan (tiga dosa besar) tersebut,” harap Citra.
“Tiga dosa besar” juga menjadi materi khusus dalam Pelatihan Fasilitator Ibu penggerak yang diselenggarakan Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbudristek. Selama pelatihan, para Ibu Penggerak melakukan diskusi berbagai contoh praktik perundungan, intoleransi, dan kekerasan dalam dunia pendidikan. Dari masalah-masalah tersebut, mereka berdiskusi bagaimana solusi yang bisa dilakukan agar “tiga dosa besar” bisa semakin berkurang dan hilang dari dunia pendidikan.
Wiendrastari Putri, Ketua Sidina Community berharap dengan adanya pelatihan ini para fasilitator Ibu Penggerak dapat menyosialisasikan “tiga dosa besar” melalui diskusi bersama komunitas maupun ibu penggerak lain di sekitarnya.
“Kebijakan dari Kemendikbudristek yang kita diskusikan di sini akan disebarkan melalui media sosial atau secara langsung kepada ibu-ibu lainnya baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Semoga ini dapat membantu menghilangkan “tiga dosa besar” di dunia pendidikan,” pungkas Wiendy. (R.P.v).
Post a Comment